Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Sesuai UU PDRD


TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH SESUAI UU PDRD

Oleh : Ida Zuraida
Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak
Sumber : disini

A. Pendahuluan

Harian Bisnis Indonesia pada hari Senin, tanggal 21 Juni 2010 memuat informasi terkait upaya penolakan terhadap usulan kenaikan pajak daerah yang diajukan Pemerintah Kota Batam, bahkan tiga belas pengusaha sepakat untuk memboikot undangan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Pajak Daerah oleh Pansus DPRD Batam mengingat rancangan Peraturan Pajak Daerah tersebut menerapkan tarif maksimal yang sebenarnya diperkenankan oleh UU PDRD. Tulisan ini akan membahas masalah tersebut khususnya terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar tidak merugikan pemerintah maupun masyarakat sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan tersebut.

B. Legal Drafting Peraturan Perundang-undangan

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat). Hal tersebut dituangkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara yang berdasar atas hokum, maka segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Terlebih lagi, dengan sistem hukum yang dianut Indonesia yaitu sistem hukum kontinental sebagai warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Dengan menganut sistem hukum kontinental maka Negara Indonesia mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Membuat rancangan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Hal ini dikarenakan konsekuensi hukum dari produk hukum yang akan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam mengakomodasi beberapa kepentingan. Apabila suatu peraturan perundang-undang dibuat kurang sempurna atau kurang dimengerti oleh pelaksana undang-undang, sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Idealnya, suatu undang-undang dibuat sederhana dalam rangka memudahkan pemahaman undang-undang dimaksud. Namun dalam praktik, untuk menghindari perbedaan penafsiran atas suatu rumusan peraturan perundang-undangan, umumnya para pembuat kebijakan menyusun perundang-undangan secara detail dengan maksud memperjelas materi atau muatan yang ada dalam peraturan tersebut. Rumusan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesan berbelit-belit dan jauh dari “kesederhanaan”, bahkan seringkali menimbulkan multitafsir. Kesukaran dalam menyusun rancangan undang-undang yang baik ini tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Inggris, sejak ratusan tahun lalu sebagaimana disampaikan oleh John Stuart Mill (1867) dalam bukunya Consideraton on Representative Government bahwa “were it not that our laws are already, as to form and construction, such a chaos, that the confusion and contradiction seem incapable of being made greater by any addition to the mass”.

Berdasarkan teori di atas, idealnya, untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik para pembuat kebijakan harus melakukan persiapan khususnya terkait dengan pengetahuan yang mendalam dari materi yang akan diatur dan pengetahuan akan daya upaya apa yang tepat untuk mencegah penghindaran diri dari ketentuan undang-undang tersebut. Penyusunan rancangan undang-undang tidak hanya merupakan soal pengetahuan saja, namun juga diperlukan seni dalam merancang undang-undang. Dengan demikian, diharapkan undang-undang tersebut tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi para pelaksananya, tetapi juga mampu menampung perkembangan di masa yang akan datang.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah diundangkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi yaitu terletak pada timbal balik langsung.  Pertama, pada pajak tidak ada timbal balik prestasi secara langsung kepada para Wajib Pajak, sedangkan untuk retribusi ada timbal balik langsung kepada penerima retribusi. Kedua, pajak dapat diartikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan seseorang atau suatu badan untuk menghasilkan pendapatan di suatu Negara. Mengingat ketersediaan berbagai sarana dan prasarana publik yang dinikmati semua orang mutlak diperlukan sehingga Negara memerlukan biaya yang dipungut dalam bentuk pajak. Ketiga, pajak merupakan pungutan yang bersifat memaksa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sedangkan retribusi lebih spesifik kepada orang-orang tertentu yang mendapatkan pelayanan tertentu.

UU PDRD merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 23A Amandemen ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengatur mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang. Artinya secara formal yuridis tidak mungkin memungut pajak jika tidak berdasarkan pada undang-undang. Mengingat No Taxation without Representation sama saja halnya dengan perampokan. Secara prinsip, undang-undang pajak mengandung muatan ketentuan hukum formal dan ketentuan hukum material. Ketentuan hukum pajak material meliputi pengaturan terkait subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak yang harus diatur secara tegas dan jelas.  Subjek artinya siapa yang akan dikenakan pajak, objek artinya apa saja yang akan dikenakan pajak, dan berapa besarnya tarif pajak harus dimuat dalam ketentuan hukum pajak material.

Salah satu contoh mengenai penerapan ketentuan hukum formal dalam UU PDRD adalah undang-undang menetapkan tarif maksimal pajak kendaraan bermotor adalah 10%, namun tarif tersebut menurut undang-undang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, undang-undang mendelegasikan kewenangan tersebut kepada peraturan di bawahnya yaitu Peraturan Daerah dan karenanya pemerintah daerah kemungkinan dapat menentukan/mengubah tarif pajak yang dimuat dalam undang-undang. Rumusan seperti ini ditemukan pula dalam undang-undang pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat sebagai contoh Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Artinya, undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan/mengubah tarif pajak yang dimuat dalam undang-undang.

Prof. Rohmat Sumitro dalam bukunya Pajak Ditinjau dari Segi Hukum memberikan pandangan terkait rumusan tersebut di atas. Sesungguhnya ketentuan hukum pajak formal tidak mutlak harus dimasukkan ke dalam undang-undang, tetapi tidak ada larangan juga untuk dimasukkan dalam undang-undang. Selanjutnya, beliau menyatakan pencantuman ketentuan hukum pajak formal apabila dimuat dalam undang-undang lebih memberikan kepastian hukum mengingat undang-undang harus dapat diterapkan secara konsekuen untuk keadaan yang sama secara terus menerus. Dengan dimuatnya ketentuan formal dalam undang-undang membawa konsekuensi lain yaitu setiap perubahannya harus dilakukan melalui amandemen undang-undang tersebut, mengingat Peraturan Daerah atau Peraturan Menteri Keuangan tidak mungkin mengubah ketentuan undang-undang.

Sebelum membahas secara terperinci mengenai teknik penyusunan Peraturan Daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu diketahui latar belakang penyusunan UU PDRD. Tujuan dari pemberlakuan UU PDRD adalah:

Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah dalam memungut pajak dan retribusi daerah seiring dengan semakin besarnya tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Peningkatan akuntabilitas daerah dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk memperkuat otonomi daerah.
Peningkatan kepastian bagi dunia usaha terkait jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Pada prinsipnya UU PDRD mengamanatkan bahwa pemungutan pajak berdasarkan Pasal 95 UU PDRD dan retribusi daerah berdasarkan Pasal 156 harus diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Dengan demikian dalam menyusun Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah maupun DPRD harus tunduk pada UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Beberapa materi yang wajib dicantumkan dalam menyusun Peraturan Daerah Pajak Daerah yaitu:
1.  nama, objek, dan subjek pajak;
2.  dasar pengenaan, tarif dan dasar perhitungan pajak;
3.  wilayah pemungutan;
4.  masa pajak;
5.  penetapan;
6.  tata cara pembayaran dan penagihan;
7.  kedaluwarsa;
8.  sanksi administrasi; dan
9.  tanggal mulai berlakunya Peraturan Daerah.

Materi yang bersifat tambahan atau opsional yaitu:
1.  pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya;
2.  tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan
3.  asas timbal balik berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing, sesuai dengan kelaziman internasional.

Selanjutnya, beberapa materi yang wajib dicantumkan dalam menyusun Peraturan Daerah Retribusi Daerah yaitu:
    nama, objek, dan subjek retribusi;
    golongan retribusi;
    cara mengukur tingkat penggunaan jasa;
    prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif;
    struktur dan besarnya tarif;
    wilayah pemungutan;
    penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran;
    sanksi administrasi;
    penagihan;
    penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa; dan
    tanggal mulai berlakunya.

Materi yang bersifat tambahan atau opsional adalah:
1.  masa retribusi;
2.  pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya; dan
3. tata cara penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa.

Sesungguhnya materi yang akan dimuat dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi Daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sehingga penamaan enam belas jenis pajak daerah dan tiga puluh jenis retribusi daerah yang ada sebaiknya tidak berbeda dengan UU PDRD agar tidak menimbulkan polemik di dalam masyarakat. Demikian pula, dalam pengaturan terkait penetapan tarif pajak daerah, pemerintah daerah maupun DPRD perlu mempertimbangkan hal-hal lain seperti: tarif pajak di daerah lainnya, kemampuan masyarakat setempat untuk memikul beban pajak, tingkat manfaat yang diberikan, upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pemberian iklim investasi di daerah, serta kebutuhan pengeluaran daerah.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Daerah adalah tatanan yang tertib di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan pengundangannya. Sebagai salah satu aspek dalam rangka pembangunan hukum nasional, pembentukan peraturan perundang-undangan baru dapat diwujudkan apabila pembentukan tersebut didukung dengan cara dan metode yang pasti, serta standar yang sesuai dengan standar yang telah diamanatkan dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal tersebut mengatur mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dengan undang-undang. Sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004.

Sebagai instrumen pengatur yang sah pada negara hukum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi hukum positif yang harus ditaati dan menjadi pegangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh setiap lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tingkat perencanaan, kemudian persiapan yang termasuk juga teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

Perancangan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu tahap dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan perancangan, seorang perancang atau pengambil kebijakan harus memperhatikan beberapa hal. Biasanya ada tiga dasar agar suatu peraturan perundang-undangan mempunyai kekuatan berlaku yang baik, yaitu, mempunyai landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Landasan filosofis adalah suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup masyarakat, yaitu cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan cita-cita kesusilaan. Landasan sosiologis yaitu suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Landasan yuridis adalah suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, landasan formil yang dimuat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus meliputi:
    kejelasan tujuan;
    kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
    kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
    dapat dilaksanakan;
    kedayagunaan dan kehasilgunaan;
    kejelasan rumusan; dan
    keterbukaan.

Di samping landasan tersebut, dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan adalah mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya.

Di samping hal tersebut, lembaga legislatif di daerah (DPRD) sebagai lembaga perwakilan rakyat mempunyai peranan yang penting pula dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, setiap anggota DPRD harus mampu mengatur dirinya untuk mengupayakan demokrasi dan mewujudkan  tata pemerintahan yang baik dan efisien sesuai dengan konstituennya. Salah satu fungsi DPRD dalam hal perancangan Peraturan Daerah adalah mengembangkan kebijakan dan membuat Peraturan Daerah berdasarkan situasi lokal dan merefleksikan kebutuhan dan perhatian masyarakat. Dengan demikian, dalam menyusun peraturan perundang-undangan tidak saja harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan, namun juga memberikan hasil guna bagi masyarakat maupun pemerintah setempat.

C. Kepustakaan

Soejito, Irawan. 1993. Teknik Membuat Undang-Undang. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Soemitro, Rochmat. 1991. Pajak Ditinjau dari Segi Hukum. Bandung: PT Eresco.
Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: IND-HILL, CO.
Hamidi, Jazim dan Budiman NPD Sinaga. 2005. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Sorotan. Jakarta: PT Tatanusa.

Posting Komentar untuk "Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Sesuai UU PDRD"