Transfer Pricing (PER No. 43/PJ./2010)
Transfer Pricing (Perdirjen Pajak No. 43/PJ./2010)
Oleh: Roy Martfianto
Sumber : klik disini
Pengantar Transfer Pricing
Tax Treaty di Indonesia
Oleh: Roy Martfianto
Sumber : klik disini
Pengantar Transfer Pricing
Tax Treaty di Indonesia
Isu tentang harga transfer (transfer pricing) merupakan isu yang sebenarnya sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pengaturan tentang kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan serta besarnya modal dalam suatu hubungan istimewa merupakan respon undang-undang material atas transaksi ekonomi yang dilingkupi oleh kecenderungan untuk melakukan transfer pricing antara dua atau lebih entitas bisnis yang mempunyai hubungan istimewa. Selain pengaturan tersebut, tentu saja, Undang-Undang PPH mengatur tentang ketentuan hubungan istimewa antar Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi.
Respon Undang-Undang PPh terhadap isu tersebut diatur di Pasal 18. Pasal ini mengalami banyak penyempurnaan sejak diundangkan di dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 hingga terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008. Kutipan lengkap Pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008. Pada dasarnya, Pasal 18 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengatur 3 hal pokok yang terkait dengan transaksi-transaksi ekonomi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yaitu:
1. memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan penetapan terhadap besarnya DER (Debt Equity Ratio) dan saat perolehan penghasilan berupa deviden dalam rangka penghitungan pajak;
2. memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan perhitungan kembali terhadap besarnya penghasilan dan pengurangan serta utang terhadap modal untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa;
3. menjelaskan sebab-sebab terjadinya hubungan istimewa antara dua atau lebih Wajib Pajak.
Jadi Pasal 18 ayat 3 adalah pasal yang menjadi landasan teknis bagi Dirjen Pajak untuk menghitung kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Pengaturan pada Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008 ini menjadi penting sebab sejak diundangkan pertama kali Pasal 18 di UU No. 7 Tahun 1983, klausul tentang “kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa” diusung sebagai suatu batasan untuk menilai transaksi-transaksi ekonomi yang terjadi dalam hubungan istimewa. Lebih dari itu, undang-undang mengatur juga masalah teknis yaitu penggunaan metode yang akan digunakan untuk menilai kewajaran dan kelaziman transaksi.
Rangkaian berikutnya dari disempurnakannya ketentuan Pasal 18 ini adalah terbitnya ketentuan yang mengatur tentang klausul “kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”. Pengaturan secara teknis adalah keniscayaan yang harus ada mengingat bahwa di Pasal 18 tersebut ditentukan tentang metode yang digunakan untuk menilai kewajaran dan kelaziman usaha yang dipersyaratkan harus ada dalam transaksi-transaksi ekonomi yang melibatkan hubungan istimewa. Ketentuan tentang penggunaan metode untuk menilai kewajaran dan kelaziman usaha inilah yang diatur di Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
TRANSFER PRICING DI INDONESIA
Pengaturan tentang transfer pricing di Indonesia dilakukan secara material di Pasal 18 Undang-Undang PPh. Ketentuan pokok Pasal 18 tersebut dijabarkan secara teknis melalui serangkaian peraturan di bawahnya, yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (special purpose company) yang Mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga;
3. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
4. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-48/PJ/2010 tanggal 3 November 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (mutual agreement procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
5. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (advance pricing agreement).
Pengaturan tentang transfer pricing di Indonesia tidak lepas dari prinsip yang mendasari praktik pengaturan transfer pricing yang telah menjadi kebiasaan umum untuk diterapkan di banyak negara. Prinsip utama yang dianut dalam pengaturan transfer pricing adalah diacunya konsep dalam kerangka teoritikal akuntansi yaitu prinsip arm’s length transaction. OECD dalam pernyataan resminya yang dituangkan di Pasal 9 The OECD Model Tax Convention menyatakan sebagai berikut:
“[When] conditions are made or imposed between the two [associated] enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.”
Pernyataan di paragraf 1 Pasal 9 dari Model OECD inilah yang menjadi basis pola hubungan bilateral dalam konteks tax treaty antara negara-negara anggota OECD dan beberapa negara non-OECD.
Argumentasi utama yang dibangun oleh OECD dalam penerapan prinsip arm’s length ini adalah prinsip arm’s length memberikan keseimbangan yang luas dalam perlakuan pajak untuk Multinational Enterprises (MNEs) dan Independent Enterprises. Arm’s length principle menempatkan MNEs dan Independent Enterprises pada keadaan yang lebih adil dalam penghitungan beban untuk tujuan perpajakan, sehingga hal itu dapat menghindari upaya-upaya terjadinya keuntungan pajak atau ketidakuntungan pajak yang mengubah posisi relatif kompetitif dari kedua jenis entitas tersebut. Sejalan dengan itu, meninjau kembali posisi pajak-pajak dalam transaksi tersebut dari keputusan ekonomi, prinsip arm’s length meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional dan investasi
Sekalipun pendekatan ini membawa kemajuan yang sangat berarti dalam pengaturan transaksi yang melibatkan adanya hubungan istimewa, namun dalam praktik pelaksanaannya ditemui beberapa kesulitan sebagai berikut:
1. perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa mungkin melakukan transaksi-transaksi yang tidak terjadi di perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa (non-affiliated companies or enterprises). Terjadinya transaksi-transaksi model ini tidak dimotivasi oleh kepentingan penghindaran pajak tetapi dalam transaksional bisnis antar perusahaan affiliasi tersebut menghadapi kondisi-kondisi bisnis atau komersial berbeda dengan yang dihadapi oleh anggota suatu perusahaan non-affiliasi;
2. penerapan prinsip ini mungkin akan menimbulkan beban administratif baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dalam mengevaluasi jumlah yang signifikan dan tipe-tipe transaksi-transaksi cross-border. Meskipun perusahaan affiliasi umumnya menetapkan syarat-syarat bagi sebuah transaksi affiliasi pada saat transaksi terjadi, namun pada titik tertentu perusahaan diminta menunjukkan bahwa perusahaan affiliasi konsisten dengan prinsip arm’s length transaction. Disisi lain, fiskus akan berupaya melakukan verifikasi dalam beberapa tahun ke depan setelah terjadinya transaksi-transaksi affiliasi tersebut. Fiskus kemudian akan mencoba mengumpulkan informasi transaksi sejenis, kondisi pasar pada saat transaksi affiliasi terjadi, dll. untuk sekian banyak dan ragam transaksi. Aktivitas ini biasanya akan menjadi lebih sulit seiring dengan berlalunya waktu.
3. Wajib Pajak dan fiskus sering kali mengalami kesulitan memperoleh informasi yang memadai untuk menerapkan prinsip arm’s length. Hal ini karena prinsip arm’s length mensyaratkan Wajib Pajak dan fiskus untuk mengevaluasi transaksi-transaksi yang tidak dapat dikontrolnya, termasuk juga aktivitas-aktivitas bisnis dari perusahaan non affiliasi dan membandingkannya dengan transaksi-transaksi di perusahaan affliliasi. Hal ini memunculkan permintaan akan sejumlah data yang subtansial. Informasi yang dapat diakses kemungkinan tidak lengkap dan sulit diinterpretasikan. Informasi lain, jika itu ada, mungkin akan sangat sukar diperoleh dengan sejumlah alasan. Belum lagi kebutuhan akan informasi terkait transaksi perusahaan non affiliasi, dengan alasan kerahasiaan maka tidak mudah memperolehnya. Pada titik ini harus disadari bahwa transfer pricing bukan ilmu pasti tetapi membutuhkan penggunaan pertimbangan pada setiap bagian di kedua belah pihak, Wajib Pajak dan fiskus.
Di Indonesia, konsep yang diusung OECD ini diadopsi di dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 untuk menjelaskan klausul “kewajaran dan kelaziman usaha..” yang disebutkan di Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008. Meskipun ketentuan ini secara formal berlaku sejak 6 September 2010, namun sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak pertama kali memunculkan masalah transaksi pihak-pihak terafiliasi dan transfer pricing pada awal tahun 1993 dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak No. 1/PJ.7/1993 tentang petunjuk pemeriksaan pajak untuk transaksi-transaksi bagi perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan Surat Edaran No. 04/PJ.07/1993 tentang penanganan kasus-kasus transfer pricing.
Secara teori, fiskus hanya diminta untuk menerapkan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 untuk mengaudit transaksi-transaksi transfer pricing sejak September 2010. Meski demikian, dalam rangka pemeriksaan pajak, fiskus telah menerapkan Peraturan Dirjen Pajak tersebut untuk kejadian-kejadian sebelum September 2010. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menambah penerimaan pajak yang berasal dari pemerikasaan transfer pricing. Perlu dicatat juga bahwa ketentuan-ketentuan yang ada di Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 secara umum sama dengan OECD Guidelines, tetapi ada beberapa aspek dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 yang perlu digarisbawahi:
1. Kewajiban Melakukan Dokumentasi
Ketentuan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010 mensyaratkan Wajib Pajak untuk menyiapkan dokumentasi transfer pricing, mengikuti standar yang secara umum konsisten dengan OECD Guidelines, untuk semua transaksi afiliasi yang terjadi selama satu periode penilaian kecuali untuk transaksi kurang dari Rp10 juta. Apakah dokumentasi sudah dipersiapkan atau tidak pada saat pemasukan SPT Tahunan, pengungkapan transaksi afiliasi harus dilakukan dengan mengisi formulir khusus yang dilampirkan pada SPT Tahunan tersebut. Ketidakmampuan untuk menyiapkan dokumentasi yang diperlukan harus dipandang oleh Wajib Pajak sebagai pemicu bagi Ditjen Pajak memulai suatu pemeriksaan transfer pricing.
1. Pemilihan Metodologi
Dirjen Pajak mempunyai aturan yang ketat tentang pemilihan metodologi. Hal ini tampak pada hierarki yang ketat dari metode yang dirincikan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010. Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010 ini mensyaratkan Wajib Pajak untuk menggunakan metode CUP (Comparable Uncontrolled Price), jika seluruh syaratnya memungkinkan kemudian diikuti dengan metode Resale Price atau metode Cost Plus, jika memungkinkan. Dilanjutkan dengan metode Profit Split dan sebagai pilihan terakhir, hanya jika keempatnya tidak mungkin dipenuhi syaratnya, maka Wajib Pajak harus menggunakan metode TNM (Transactional Net Margin).
Ada beberapa hal penting terkait pemilihan metode:
1. Pada masa lampau, Wajib Pajak tertentu mengambil jalan pintas dengan menerapkan TNMM bagi seluruh basis entitas dengan sedikit upaya untuk menerapkan metode langsung lainnya. Praktik ini tidak dapat diterima oleh Ditjen Pajak dan Wajib Pajak harus mencoba mengidentifikasi transaksi-transaksi yang dapat diperbandingkan dengan pihak ketiga dari sumber-sumber internal, yang oleh Ditjen Pajak diakui sebagai sumber informasi yang paling dapat dipercaya, atau dari eksternal jika data tersebut tersedia.
2. Wajib Pajak disarankan untuk mempertimbangkan setiap transaksi afiliasian secara terpisah, dan setiap detil metodologi tranfer pricing dalam suatu hierarki yang baku. Alasan-alasan secara rinci harus disediakan dalam dokumentasi transfer pricing untuk menggunakan atau tidak menggunakan suatu metode yang tersedia.
3. Jika diperlukan untuk melakukan studi benchmarking, Wajib Pajak perlu untuk mencari perusahaan pembanding yang independen yang beroperasi di Indonesia atau jika tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi perusahaan pembanding yang cukup hanya dari pasar Indonesia, daerah ASEAN dan lebih Asia (tidak termasuk Jepang dan Korea) dapat dipertimbangkan.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Terhadap Transaksi Afiliasi Sesuai Peraturan Ditjen Pajak Nomor 43/PJ/2010
Secara teknikal, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
1. ANALISIS KESEBANDINGAN
Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan, harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa;
I. menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud, harus dipertimbangkan antara lain:
1. ciri-ciri fisik barang;
2. kualitas barang;
3. daya tahan barang;
4. tingkat ketersediaan barang; dan
5. jumlah penawaran barang.
II. menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud, harus dipertimbangkan antara lain:
1. jenis transaksi;
2. jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
3. jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
4. potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud tersebut.
III. menilai dan menganalisis karakteristik jasa, harus dipertimbangkan antara lain:
1. sifat dan jenis jasa; dan
2. cakupan pemberian jasa.
b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
Harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
• struktur organisasi;
• fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen;
• jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
• risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis
d. keadaan ekonomi;
harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
e. strategi usaha.
harus dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
2. PENENTUAN METODE HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR
Ketentuan yang harus diikuti:
• dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat;
• penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat;
• dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat;
• dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM).
2.1. Metode CUP
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah:
1. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
2. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
2.2 Metode RPM
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah:
1. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
2. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
2.3. Metode CPM
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah:
1. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
2. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
3. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
2.4. Metode PSM
Secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
1. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
2.5. Metode TNMM
Dalam hal kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) dapat diterapkan.
3. Cara menentukan harga/laba yang terjadi dari transaksi Hubungan Istimewa dapat dianggap sebagai harga/laba yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Ketentuan Formal yang harus dipenuhi:
• Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
• Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud diatas meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
• Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
1. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
2. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
3. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha;
4. pembanding yang terpilih; dan
5. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.
• Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud diatas, yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih.
Apabila ketentuan formal telah dipenuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana tersebut diatas, maka langkah teknis yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 adalah:
1. Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR);
2. Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar adalah rentangan antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan yaitu
• tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
• terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba.
1. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.
2. Dalam hal persyaratan diatas tidak dapat dipenuhi, maka Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan;
3. Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR) adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang merupakan hasil pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode Penentuan Harga Transfer yang sama.
Apabila persyaratan teknis administratif dipenuhi dan hasil pengujian statistik menghasilkan rentangan tentang ada/tidaknya harga transfer, maka persoalan harga transfer selesai. Namun sebelum itu terjadi, persoalan sesungguhnya adalah bagaimana mempersiapkan dokumentasi yang dibutuhkan untuk mendukung kewajaran dan kelaziman harga transfer. Jika memperhatikan dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka secara teoritik Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ./2010 adalah Peraturan Dirjen Pajak yang berusaha meminimalkan potensi sengketa pajak dalam menilai harga transfer. Dan ini adalah hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi dari sisi praktik, penilaian terhadap kewajaran dan kelaziman harga transfer itu akan menaikkan biaya kepatuhan di sisi Wajib Pajak dan DJP. Bagi Wajib Pajak tidak mudah untuk menyiapkan dan memenuhi setiap item yang harus didokumentasikan, sedang bagi fiskus—jika tidak punya bank data pembanding yang baik—maka dokumentasi dari Wajib Pajak tersebut dikhawatirkan hanya menjadi data saja selamanya dan tidak akan mampu menjadi “bukti” yang dimaksud pada Pasal 12 UU KUP.
Respon Undang-Undang PPh terhadap isu tersebut diatur di Pasal 18. Pasal ini mengalami banyak penyempurnaan sejak diundangkan di dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 hingga terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008. Kutipan lengkap Pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008. Pada dasarnya, Pasal 18 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengatur 3 hal pokok yang terkait dengan transaksi-transaksi ekonomi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yaitu:
1. memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan penetapan terhadap besarnya DER (Debt Equity Ratio) dan saat perolehan penghasilan berupa deviden dalam rangka penghitungan pajak;
2. memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan perhitungan kembali terhadap besarnya penghasilan dan pengurangan serta utang terhadap modal untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa;
3. menjelaskan sebab-sebab terjadinya hubungan istimewa antara dua atau lebih Wajib Pajak.
Jadi Pasal 18 ayat 3 adalah pasal yang menjadi landasan teknis bagi Dirjen Pajak untuk menghitung kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Pengaturan pada Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008 ini menjadi penting sebab sejak diundangkan pertama kali Pasal 18 di UU No. 7 Tahun 1983, klausul tentang “kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa” diusung sebagai suatu batasan untuk menilai transaksi-transaksi ekonomi yang terjadi dalam hubungan istimewa. Lebih dari itu, undang-undang mengatur juga masalah teknis yaitu penggunaan metode yang akan digunakan untuk menilai kewajaran dan kelaziman transaksi.
Rangkaian berikutnya dari disempurnakannya ketentuan Pasal 18 ini adalah terbitnya ketentuan yang mengatur tentang klausul “kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”. Pengaturan secara teknis adalah keniscayaan yang harus ada mengingat bahwa di Pasal 18 tersebut ditentukan tentang metode yang digunakan untuk menilai kewajaran dan kelaziman usaha yang dipersyaratkan harus ada dalam transaksi-transaksi ekonomi yang melibatkan hubungan istimewa. Ketentuan tentang penggunaan metode untuk menilai kewajaran dan kelaziman usaha inilah yang diatur di Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
TRANSFER PRICING DI INDONESIA
Pengaturan tentang transfer pricing di Indonesia dilakukan secara material di Pasal 18 Undang-Undang PPh. Ketentuan pokok Pasal 18 tersebut dijabarkan secara teknis melalui serangkaian peraturan di bawahnya, yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (special purpose company) yang Mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga;
3. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
4. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-48/PJ/2010 tanggal 3 November 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (mutual agreement procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
5. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (advance pricing agreement).
Pengaturan tentang transfer pricing di Indonesia tidak lepas dari prinsip yang mendasari praktik pengaturan transfer pricing yang telah menjadi kebiasaan umum untuk diterapkan di banyak negara. Prinsip utama yang dianut dalam pengaturan transfer pricing adalah diacunya konsep dalam kerangka teoritikal akuntansi yaitu prinsip arm’s length transaction. OECD dalam pernyataan resminya yang dituangkan di Pasal 9 The OECD Model Tax Convention menyatakan sebagai berikut:
“[When] conditions are made or imposed between the two [associated] enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.”
Pernyataan di paragraf 1 Pasal 9 dari Model OECD inilah yang menjadi basis pola hubungan bilateral dalam konteks tax treaty antara negara-negara anggota OECD dan beberapa negara non-OECD.
Argumentasi utama yang dibangun oleh OECD dalam penerapan prinsip arm’s length ini adalah prinsip arm’s length memberikan keseimbangan yang luas dalam perlakuan pajak untuk Multinational Enterprises (MNEs) dan Independent Enterprises. Arm’s length principle menempatkan MNEs dan Independent Enterprises pada keadaan yang lebih adil dalam penghitungan beban untuk tujuan perpajakan, sehingga hal itu dapat menghindari upaya-upaya terjadinya keuntungan pajak atau ketidakuntungan pajak yang mengubah posisi relatif kompetitif dari kedua jenis entitas tersebut. Sejalan dengan itu, meninjau kembali posisi pajak-pajak dalam transaksi tersebut dari keputusan ekonomi, prinsip arm’s length meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional dan investasi
Sekalipun pendekatan ini membawa kemajuan yang sangat berarti dalam pengaturan transaksi yang melibatkan adanya hubungan istimewa, namun dalam praktik pelaksanaannya ditemui beberapa kesulitan sebagai berikut:
1. perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa mungkin melakukan transaksi-transaksi yang tidak terjadi di perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa (non-affiliated companies or enterprises). Terjadinya transaksi-transaksi model ini tidak dimotivasi oleh kepentingan penghindaran pajak tetapi dalam transaksional bisnis antar perusahaan affiliasi tersebut menghadapi kondisi-kondisi bisnis atau komersial berbeda dengan yang dihadapi oleh anggota suatu perusahaan non-affiliasi;
2. penerapan prinsip ini mungkin akan menimbulkan beban administratif baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dalam mengevaluasi jumlah yang signifikan dan tipe-tipe transaksi-transaksi cross-border. Meskipun perusahaan affiliasi umumnya menetapkan syarat-syarat bagi sebuah transaksi affiliasi pada saat transaksi terjadi, namun pada titik tertentu perusahaan diminta menunjukkan bahwa perusahaan affiliasi konsisten dengan prinsip arm’s length transaction. Disisi lain, fiskus akan berupaya melakukan verifikasi dalam beberapa tahun ke depan setelah terjadinya transaksi-transaksi affiliasi tersebut. Fiskus kemudian akan mencoba mengumpulkan informasi transaksi sejenis, kondisi pasar pada saat transaksi affiliasi terjadi, dll. untuk sekian banyak dan ragam transaksi. Aktivitas ini biasanya akan menjadi lebih sulit seiring dengan berlalunya waktu.
3. Wajib Pajak dan fiskus sering kali mengalami kesulitan memperoleh informasi yang memadai untuk menerapkan prinsip arm’s length. Hal ini karena prinsip arm’s length mensyaratkan Wajib Pajak dan fiskus untuk mengevaluasi transaksi-transaksi yang tidak dapat dikontrolnya, termasuk juga aktivitas-aktivitas bisnis dari perusahaan non affiliasi dan membandingkannya dengan transaksi-transaksi di perusahaan affliliasi. Hal ini memunculkan permintaan akan sejumlah data yang subtansial. Informasi yang dapat diakses kemungkinan tidak lengkap dan sulit diinterpretasikan. Informasi lain, jika itu ada, mungkin akan sangat sukar diperoleh dengan sejumlah alasan. Belum lagi kebutuhan akan informasi terkait transaksi perusahaan non affiliasi, dengan alasan kerahasiaan maka tidak mudah memperolehnya. Pada titik ini harus disadari bahwa transfer pricing bukan ilmu pasti tetapi membutuhkan penggunaan pertimbangan pada setiap bagian di kedua belah pihak, Wajib Pajak dan fiskus.
Di Indonesia, konsep yang diusung OECD ini diadopsi di dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 untuk menjelaskan klausul “kewajaran dan kelaziman usaha..” yang disebutkan di Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008. Meskipun ketentuan ini secara formal berlaku sejak 6 September 2010, namun sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak pertama kali memunculkan masalah transaksi pihak-pihak terafiliasi dan transfer pricing pada awal tahun 1993 dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak No. 1/PJ.7/1993 tentang petunjuk pemeriksaan pajak untuk transaksi-transaksi bagi perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan Surat Edaran No. 04/PJ.07/1993 tentang penanganan kasus-kasus transfer pricing.
Secara teori, fiskus hanya diminta untuk menerapkan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 untuk mengaudit transaksi-transaksi transfer pricing sejak September 2010. Meski demikian, dalam rangka pemeriksaan pajak, fiskus telah menerapkan Peraturan Dirjen Pajak tersebut untuk kejadian-kejadian sebelum September 2010. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menambah penerimaan pajak yang berasal dari pemerikasaan transfer pricing. Perlu dicatat juga bahwa ketentuan-ketentuan yang ada di Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 secara umum sama dengan OECD Guidelines, tetapi ada beberapa aspek dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 yang perlu digarisbawahi:
1. Kewajiban Melakukan Dokumentasi
Ketentuan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010 mensyaratkan Wajib Pajak untuk menyiapkan dokumentasi transfer pricing, mengikuti standar yang secara umum konsisten dengan OECD Guidelines, untuk semua transaksi afiliasi yang terjadi selama satu periode penilaian kecuali untuk transaksi kurang dari Rp10 juta. Apakah dokumentasi sudah dipersiapkan atau tidak pada saat pemasukan SPT Tahunan, pengungkapan transaksi afiliasi harus dilakukan dengan mengisi formulir khusus yang dilampirkan pada SPT Tahunan tersebut. Ketidakmampuan untuk menyiapkan dokumentasi yang diperlukan harus dipandang oleh Wajib Pajak sebagai pemicu bagi Ditjen Pajak memulai suatu pemeriksaan transfer pricing.
1. Pemilihan Metodologi
Dirjen Pajak mempunyai aturan yang ketat tentang pemilihan metodologi. Hal ini tampak pada hierarki yang ketat dari metode yang dirincikan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010. Peraturan Dirjen Pajak No. 43/2010 ini mensyaratkan Wajib Pajak untuk menggunakan metode CUP (Comparable Uncontrolled Price), jika seluruh syaratnya memungkinkan kemudian diikuti dengan metode Resale Price atau metode Cost Plus, jika memungkinkan. Dilanjutkan dengan metode Profit Split dan sebagai pilihan terakhir, hanya jika keempatnya tidak mungkin dipenuhi syaratnya, maka Wajib Pajak harus menggunakan metode TNM (Transactional Net Margin).
Ada beberapa hal penting terkait pemilihan metode:
1. Pada masa lampau, Wajib Pajak tertentu mengambil jalan pintas dengan menerapkan TNMM bagi seluruh basis entitas dengan sedikit upaya untuk menerapkan metode langsung lainnya. Praktik ini tidak dapat diterima oleh Ditjen Pajak dan Wajib Pajak harus mencoba mengidentifikasi transaksi-transaksi yang dapat diperbandingkan dengan pihak ketiga dari sumber-sumber internal, yang oleh Ditjen Pajak diakui sebagai sumber informasi yang paling dapat dipercaya, atau dari eksternal jika data tersebut tersedia.
2. Wajib Pajak disarankan untuk mempertimbangkan setiap transaksi afiliasian secara terpisah, dan setiap detil metodologi tranfer pricing dalam suatu hierarki yang baku. Alasan-alasan secara rinci harus disediakan dalam dokumentasi transfer pricing untuk menggunakan atau tidak menggunakan suatu metode yang tersedia.
3. Jika diperlukan untuk melakukan studi benchmarking, Wajib Pajak perlu untuk mencari perusahaan pembanding yang independen yang beroperasi di Indonesia atau jika tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi perusahaan pembanding yang cukup hanya dari pasar Indonesia, daerah ASEAN dan lebih Asia (tidak termasuk Jepang dan Korea) dapat dipertimbangkan.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Terhadap Transaksi Afiliasi Sesuai Peraturan Ditjen Pajak Nomor 43/PJ/2010
Secara teknikal, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
1. ANALISIS KESEBANDINGAN
Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan, harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa;
I. menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud, harus dipertimbangkan antara lain:
1. ciri-ciri fisik barang;
2. kualitas barang;
3. daya tahan barang;
4. tingkat ketersediaan barang; dan
5. jumlah penawaran barang.
II. menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud, harus dipertimbangkan antara lain:
1. jenis transaksi;
2. jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
3. jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
4. potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud tersebut.
III. menilai dan menganalisis karakteristik jasa, harus dipertimbangkan antara lain:
1. sifat dan jenis jasa; dan
2. cakupan pemberian jasa.
b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
Harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
• struktur organisasi;
• fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen;
• jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
• risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis
d. keadaan ekonomi;
harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
e. strategi usaha.
harus dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
2. PENENTUAN METODE HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR
Ketentuan yang harus diikuti:
• dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat;
• penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat;
• dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat;
• dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM).
2.1. Metode CUP
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah:
1. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
2. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
2.2 Metode RPM
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah:
1. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
2. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
2.3. Metode CPM
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah:
1. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
2. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
3. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
2.4. Metode PSM
Secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
1. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
2.5. Metode TNMM
Dalam hal kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) dapat diterapkan.
3. Cara menentukan harga/laba yang terjadi dari transaksi Hubungan Istimewa dapat dianggap sebagai harga/laba yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Ketentuan Formal yang harus dipenuhi:
• Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
• Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud diatas meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
• Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
1. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
2. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
3. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha;
4. pembanding yang terpilih; dan
5. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.
• Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud diatas, yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih.
Apabila ketentuan formal telah dipenuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana tersebut diatas, maka langkah teknis yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ/2010 adalah:
1. Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR);
2. Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar adalah rentangan antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan yaitu
• tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
• terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba.
1. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.
2. Dalam hal persyaratan diatas tidak dapat dipenuhi, maka Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan;
3. Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR) adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang merupakan hasil pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode Penentuan Harga Transfer yang sama.
Apabila persyaratan teknis administratif dipenuhi dan hasil pengujian statistik menghasilkan rentangan tentang ada/tidaknya harga transfer, maka persoalan harga transfer selesai. Namun sebelum itu terjadi, persoalan sesungguhnya adalah bagaimana mempersiapkan dokumentasi yang dibutuhkan untuk mendukung kewajaran dan kelaziman harga transfer. Jika memperhatikan dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka secara teoritik Peraturan Dirjen Pajak No. 43/PJ./2010 adalah Peraturan Dirjen Pajak yang berusaha meminimalkan potensi sengketa pajak dalam menilai harga transfer. Dan ini adalah hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi dari sisi praktik, penilaian terhadap kewajaran dan kelaziman harga transfer itu akan menaikkan biaya kepatuhan di sisi Wajib Pajak dan DJP. Bagi Wajib Pajak tidak mudah untuk menyiapkan dan memenuhi setiap item yang harus didokumentasikan, sedang bagi fiskus—jika tidak punya bank data pembanding yang baik—maka dokumentasi dari Wajib Pajak tersebut dikhawatirkan hanya menjadi data saja selamanya dan tidak akan mampu menjadi “bukti” yang dimaksud pada Pasal 12 UU KUP.
Posting Komentar untuk "Transfer Pricing (PER No. 43/PJ./2010)"