PER - 16/PJ/2016
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR
PER - 16/PJ/2016
TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa
penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak terhitung mulai tanggal 1
Januari 2016 telah
ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian
Besarnya
Penghasilan
Tidak Kena Pajak;
b. bahwa
bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan
serta
pegawai
tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan telah ditetapkan
dalam
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan
dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
Lainnya
yang
Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
c. berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, serta untuk melaksanakan
ketentuan
Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan
Pemotongan
Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi,
dan
ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang
Penetapan Bagian
Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai
Tidak
Tetap
Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan
Direktur
Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan
Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa,
dan
Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16
Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana
telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
4893);
3. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau
Biaya
Pensiun
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
4. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan
Pajak
atas
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
5. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran
Pajak;
6. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan
Tidak
Kena Pajak;
7. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan
dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
Lainnya
yang
Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG
PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG
PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun
2008.
2. Pajak
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak
orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21,
adalah pajak atas
penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam
bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh
orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
3. Pajak
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak
orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah
pajak atas
penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam
bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh
orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
4. Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib
Pajak
badan,
termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak
atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Badan
adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6
Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali
diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. Penyelenggara
kegiatan adalah orang pribadi atau badan sebagai penyelenggara kegiatan yang
melakukan
pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi
sehubungan
dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7. Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status
sebagai Subjek
Pajak
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk
apapun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong
PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau
kegiatan,
termasuk penerima pensiun.
8. Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status
sebagai Subjek
Pajak
luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk
apapun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong
PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau
kegiatan,
termasuk penerima pensiun.
9. Pegawai
adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian
atau
kesepakatan
kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu
pekerjaan
dalam
jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan
berdasarkan
periode
tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi
kerja, termasuk
orang
pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri.
10. Pegawai
Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu
secara
teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta
pegawai yang
bekerja
berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau
memperoleh
penghasilan
dalam jumlah tertentu secara teratur.
11. Pegawai
Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
apabila
pegawai
yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan
yang
dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi
kerja.
12. Penerima
penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai
Tidak
Tetap/Tenaga
Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
dari
Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan
berdasarkan
perintah
atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13. Peserta
kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu,
termasuk mengikuti
rapat,
sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau
kegiatan lainnya
dan
menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
kegiatan
tersebut.
14. Penerima
pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh
imbalan
untuk
pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima
tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan
Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap
berupa gaji
atau
upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan
secara periodik
berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16. Penghasilan
Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap
selain
penghasilan
yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode
lainnya, antara
lain
berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
atau imbalan sejenis
lainnya
dengan nama apapun.
17. Upah
harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau
dibayarkan
secara harian.
18. Upah
mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau
dibayarkan
secara mingguan.
19. Upah
satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau
dibayarkan
berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah
borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang
terutang atau
dibayarkan
berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan
kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang
terutang
atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan
yang
dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis
lainnya.
22. Imbalan
kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan kepada Bukan
Pegawai
yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender
sehubungan dengan
pekerjaan,
jasa, atau kegiatan.
23. Imbalan
kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang
terutang
atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku,
uang
representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis
lainnya.
24. Masa
Pajak terakhir adalah masa Desember atau Masa Pajak tertentu di mana Pegawai
Tetap berhenti
bekerja.
BAB
II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal
2
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri
dari:
1) orang pribadi;
2) badan; atau
3) cabang, perwakilan, atau
unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi
yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran
lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
b. bendahara atau pemegang kas
pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah
Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri,
yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan;
c. dana pensiun, badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar
uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
1. honorarium, komisi, fee,
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,
termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee,
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium, komisi, fee,
atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan,
serta
pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan,
termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan,
yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib
Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak
termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b adalah:
a. kantor perwakilan negara
asing;
b. organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang
mengatur mengenai penetapan organisasi-organisasi internasional yang tidak
termasuk
subjek
Pajak Penghasilan;
c. organisasi-organisasi
internasional yang ketentuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada
ketentuan
perjanjian internasional dan dalam perjanjian internasional tersebut
mengecualikan
kewajiban
pemotongan pajak, serta organisasi-organisasi dimaksud telah ditetapkan oleh
Menteri
Keuangan;
d. pemberi kerja orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata
mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan
bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam
hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
huruf
b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban
melakukan
pemotongan
pajak.
BAB
III
PENERIMA
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal
3
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:
a. Pegawai;
b. penerima
uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari
tua,
termasuk ahli warisnya;
c. Bukan
Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian
jasa,
meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa
acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat,
pelukis,
dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar,
pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan
penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala
bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola
proyek;
9. pembawa pesanan atau yang
menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang
dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
dan/atau
12. distributor perusahaan
multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d. anggota
dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
pada
perusahaan
yang sama
e. mantan
pegawai; dan/atau
f. peserta
kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya
dalam
suatu kegiatan, antara lain:
1. peserta perlombaan dalam
segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan,
ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi,
sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam
suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan dan
pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.
Pasal
4
Tidak termasuk dalam pengertian penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang
diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
syarat
bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan
lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan
memberikan
perlakuan
timbal balik;
b. pejabat
perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c
Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan
Warga
Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk
memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
BAB
IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal
5
(1) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima
atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang Bersifat
Teratur
maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima
atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau
penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari
tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua)
tahun
sejak
pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak
Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada Bukan
Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenisnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang
dilakukan;
f. imbalan kepada peserta
kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan
sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa
honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat
tidak
teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa
penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus
sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri
Keuangan.
(2) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
termasuk
pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam
bentuk
apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed
profit).
Pasal
6
(1) Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek
Pajak
dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek
Pajak
luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal
7
(1) Dalam
hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau
diperoleh dalam
mata
uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada
nilai tukar (kurs)
yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut atau
pada
saat dibebankan sebagai biaya.
(2) Penghitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam
bentuk
natura
dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
didasarkan pada
harga
pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura
dan/atau kenikmatan
yang
diberikan.
Pasal
8
(1) Tidak
termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau
santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa;
b. penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5
ayat
(2);
c. iuran pensiun yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri
Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar
oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh
orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi
pemeluk
agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari
lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, sepanjang tidak ada
hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang
bersangkutan;
e. beasiswa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh
Pemerintah,
merupakan
penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V
DASAR
PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal
9
(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
a. Penghasilan Kena Pajak,
yang berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. Pegawai Tidak Tetap yang
penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif
penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah); dan
4. Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan
yang
bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang
melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) sehari,
yang
berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah
harian,
upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima
ratus
ribu
rupiah);
c. 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto,
yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan
sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
Pasal
10
(1) Jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan yang
dipotong PPh
Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. bagi Pegawai Tetap dan
penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi
Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi Pegawai Tidak Tetap,
sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP; dan
c. bagi Bukan Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh
persen)
dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
(3) Besarnya
penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah
seluruh
penghasilan
bruto dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah)
setahun;
b. iuran yang terkait dengan
gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari
tua
atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya
telah
disahkan
oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya
penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21
adalah seluruh
jumlah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan
bruto,
setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp2.400.000,00 (dua juta
empat
ratus ribu rupiah) setahun.
(5) Dalam
hal Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memberikan jasa
kepada
Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain
sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan
bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam
kontrak/perjanjian
tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan
tersebut
maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
atau
b. melakukan penyerahan
material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material
atau
barang
maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material
atau
barang.
(6) Dalam
hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan
kepada dokter
yang
melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah
sebesar
jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong
biaya-biaya
atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Pasal
11
(1) Besarnya
PTKP per tahun adalah sebagai berikut:
a. Rp54.000.000,00 (lima
puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi
tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) PTKP
per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah PTKP per
tahun
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua belas), sebesar:
a. Rp4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp375.000,00 (tiga ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp375.000,00 (tiga ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi
tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(3) Besarnya
PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi karyawati kawin,
sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
b. bagi karyawati tidak kawin,
sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga
yang
menjadi tanggungan sepenuhnya.
(4) Dalam
hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah
Daerah setempat
serendah-rendahnya
kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh
penghasilan,
besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status
kawin dan
PTKP
untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(5) Besarnya
PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(6) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), besarnya PTKP untuk pegawai
yang
baru
datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan
berdasarkan keadaan
pada
awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.
Pasal
12
(1) Atas
penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar
secara bulanan
atau
jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,00
(empat juta
lima
ratus ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan
PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan
sehari belum melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah);
b. dilakukan pemotongan PPh
Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan
sehari
melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah), dan jumlah sebesar
Rp450.000,00
(empat ratus lima puluh ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat
dikurangkan
dari penghasilan bruto.
(2) Rata-rata
penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah
mingguan,
upah
satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam
hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu)
bulan kalender
melebihi
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) maka jumlah yang dapat
dikurangkan dari
penghasilan
bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP
yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk
jumlah hari
kerja
yang sebenarnya.
(5) PTKP
sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP
per tahun
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam
hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk
mengikutsertakan
Pegawai
Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua atau
tunjangan hari tua,
maka
iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh
Pegawai Tidak
Tetap
kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara
tunjangan
hari
tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal
13
(1) Penerima
penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
angka 4
dapat
memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai
Nomor
Pokok
Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu
Pemotong
PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk
dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penerima
penghasilan
Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan
bagi
wanita
kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta
fotokopi surat
nikah
dan kartu keluarga.
BAB
VI
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal
14
(1) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas
Penghasilan
Kena Pajak dari:
a. Pegawai Tetap;
b. Penerima Pensiun berkala
yang dibayarkan secara bulanan;
c. Pegawai Tidak Tetap atau
Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk
perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa
Pajak terakhir,
tarif
diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu)
tahun, dengan
ketentuan
sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan
yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam
1
(satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan
penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan
penghasilan
yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a
ditambah
dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah
PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
adalah:
a. atas penghasilan yang
bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah
penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan yang
bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan
yang
terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dengan
Pajak
Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2) huruf a.
(4) Dalam
hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender
dan mulai
bekerja
setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi
kerja lain,
banyaknya
bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
faktor
pembagi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun
kalender sejak
yang
bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya
PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih
antara Pajak
Penghasilan
yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak
atau
bagian
tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya
dalam tahun
pajak
yang bersangkutan.
(6) Dalam
hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun pajak
maka
perhitungan
PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung
berdasarkan
Penghasilan
Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak
yang
bersangkutan.
(7) Dalam
hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal
21 yang telah
dipotong
dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang
terutang untuk
1
(satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut
dikembalikan kepada
Pegawai
Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal
21,
paling
lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
(8) Jumlah
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang
Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga
ribuan penuh.
Pasal
15
(1) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas berupa
upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian,
sepanjang
penghasilan
tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto
sehari yang melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu
rupiah);
atau
b. jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan
kumulatif
dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima
ratus
ribu
rupiah).
(2) Dalam
hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp
10.200.000,00
(sepuluh
juta dua ratus ribu rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif
Pasal 17 ayat (1)
huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan.
Pasal
16
(1) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas jumlah
kumulatif
dari:
a. Penghasilan Kena Pajak,
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi
PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 13 ayat (1);
b. 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat
berkesinambungan
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat
(1);
c. jumlah penghasilan bruto
berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
d. jumlah penghasilan bruto
berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
e. jumlah penghasilan bruto
berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh
Menteri
Keuangan.
(2) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas:
a. 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada
Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b. jumlah penghasilan bruto
untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah,
yang
diterima oleh peserta kegiatan.
Pasal
17
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara,
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta
para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal
18
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas
uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan secara
sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud.
Pasal
19
(1) Tarif
PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas
penghasilan bruto
yang
diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh
orang
pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan
Persetujuan
Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili
Subjek
Pajak
luar negeri tersebut.
(2) PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal
orang pribadi sebagai
Wajib
Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB
VII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI
PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal
20
(1) Bagi
penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak,
dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif
yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah
PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar 120%
(seratus
dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal
yang
bersangkutan
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan
PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan
PPh
Pasal
21 yang bersifat tidak final.
(4) Dalam
hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan
yang telah
dipotong
PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan
diri
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan
paling lama
sebelum
pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah
dipotong atas
selisih
pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
diperhitungkan dengan
PPh
Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
BAB
VIII
SAAT
TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal
21
(1) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat
dilakukan
pembayaran
atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 untuk
setiap
Masa Pajak.
(3) Saat
terutang untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pada
akhir bulan
dilakukannya
pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PASAL 26
SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG
DIPOTONG PAJAK
Pasal
22
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21
wajib
mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan
perpajakan.
(2) Pegawai,
penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9
ayat
(1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah
tanggungan keluarga
pada
awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri
sebagai dasar
penentuan
PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26
pada
saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam
hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun
berkala, dan
Bukan
Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib
membuat surat
pernyataan
baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
paling
lama
sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja
perhitungan
PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang
menjadi dasar
pelaporan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap Masa Pajak dan
wajib
menyimpan
catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
(6) Ketentuan
mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26
untuk
setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam
hal jumlah
pajak
yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam
hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21
dan/atau PPh
Pasal
26 yang terutang oleh pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan
penyetoran
tersebut
dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang
pada bulan
berikutnya
melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
Pasal
23
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal
21 atas
penghasilan
yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling
lama
1
(satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam
hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh
Pasal 21
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan
berhenti bekerja.
(3) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal
21 atas
pemotongan
PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan
PPh Pasal 26.
(4) Dalam
hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan
lebih dari
1
(satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
(5) Bentuk
formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ditetapkan dengan
Peraturan Direktur
Jenderal
Pajak tersendiri.
Pasal
24
(1) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26
untuk
setiap Masa Pajak wajib disetor ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan,
paling
lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
PPh
Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui
penyampaian Surat
Pemberitahuan
Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong
PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Dalam
hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran
dan
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal
25
(1) Jumlah
PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan
yang dikenakan
pemotongan
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Jumlah
pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh
persen) lebih
tinggi
bagi Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak
yang
telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan selanjutnya
pada tahun
kalender
berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit
pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam
hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
maka
PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan Surat
Pemberitahuan
Tahunan
Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus
dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak
yang
bersangkutan.
(5) Dalam
hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih
bayar
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya
tahun
pajak
yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak dianggap
sebagai Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal
26
Petunjuk umum dan contoh penghitungan
pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka penghitungan
PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2016 berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. penghitungan
dan penyetoran PPh Pasal 21 serta pelaporan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal
21
untuk
Tahun Pajak 2016 dihitung dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak
berdasarkan
ketentuan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016;
b. PPh
Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni yang telah dihitung,
disetor, dan dilaporkan
dengan
menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor 122/PMK.010/2015 dilakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal
21,
dan
dalam hal terdapat kelebihan setor, maka dapat dikompensasikan mulai Masa Pajak
Juli 2016; dan
c. penghitungan
PPh Pasal 21 terutang pada pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21
Masa
Pajak
Januari sampai dengan Juni 2016 sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan
berdasarkan
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
28
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal
26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
29
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
KEN DWIJUGIASTEADI
LAMPIRAN
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR
: PER-16/PJ/2016
TENTANG
: PEDOMAN
TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN
KEGIATAN ORANG PRIBADI
PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL
21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
I. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN BERKALA
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi
2 (dua), yaitu:
1. Penghitungan masa atau bulanan yang
menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak,
yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
2. Penghitungan kembali sebagai dasar
pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja.
Penghitungan
kembali ini dilakukan pada:
a. bulan di
mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
b. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai
akhir tahun kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun
sampai akhir tahun kalender
I.1. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja:
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas
Penghasilan Teratur
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas
Penghasilan Tidak Teratur
I.1.a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Teratur
I.1.a.1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Teratur bagi Pegawai Tetap
1. a. Untuk
menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai Tetap, terlebih dahulu
dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan,
yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur
lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
b. Untuk perusahaan yang masuk program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK), dan premi Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi
pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan
asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan
dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.
c. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto
sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan
biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran
Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui
pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau kepada BPJS Ketenagakerjaan.
2. a. Selanjutnya
dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12.
b. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan
kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak
awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka penghasilan neto
setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan dengan banyaknya
bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan
Desember.
c. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak
sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu sebesar
Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di atas, dikurangi dengan PTKP.
d. Setelah diperoleh PPh terutang dengan
menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21
sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar:
1) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12; atau
2) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dibagi banyaknya bulan yang
menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf b.
3. a. Apabila
pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan,
maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih
dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian
sebagai berikut:
1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan
4;
2) Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan
26
b. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal
21 sebulan dengan cara seperti sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2).
c. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu
dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 4, sedangkan PPh
Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan
dalam huruf b dibagi 26.
4. Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan
juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima)
bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai
berikut:
a. rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan
rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
b. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan
pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21;
c. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan
setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada
kenaikan;
d. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk
bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung dengan
cara sebagaimana dimaksud pada huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah
dipotong sebagaimana dimaksud pada huruf b.
5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji
yang didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar gaji lain
mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti tersebut pada
angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 3.
I.1.a.2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Teratur bagi Penerima Pensiun Berkala
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun
bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama
pensiun adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto
sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan
menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
b. penghasilan neto pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan
yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang
bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh
Pasal 21 sebelum pensiun;
c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP,
dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak tersebut;
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun
yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja
sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam
bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah
sebesar PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada huruf d dibagi dengan banyaknya
bulan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun
bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto
sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun;
b. selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara
penghitungan untuk pegawai tetap sebagaimana dimaksud pada butir I.1.a.1. angka
2 huruf a, c, dan d.
I.1.b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap
1. Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan
penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan
sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai
berikut:
a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur
yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem,
jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur
yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut
penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak
teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
2. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak
subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan
Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur tersebut
dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan memperhatikan
ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan Teratur
sebagaimana dimaksud pada butir I.1.a.1. angka 2 huruf b, c dan d.
1.2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada
Bulan Desember atau Masa Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti
Bekerja Sebelum Bulan Desember
1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada
bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja
sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:
a. Hitung
PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan
yang teratur maupun yang tidak teratur.
b. PPh
Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu
untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar
selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak
teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang telah
dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
c. Dalam
hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya tersebut
lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan
tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada pertengahan
tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada
pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan
PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang
bersangkutan, pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang
atas penghasilan pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama, sehingga
jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak untuk Masa Pajak
tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang
telah diberikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas
seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a
adalah sebagai berikut:
a. Untuk
pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
b. Sedangkan
untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah
bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang
dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh,
baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
II. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA
LEPAS
II.1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas,
Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah
Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan:
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian,
atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari:
a. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya
hari bekerja dalam seminggu;
b. upah
satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
c. upah
borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan
borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau
rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp450.000,00, dan jumlah
kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan
belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau
rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp450.000,00, dan sepanjang
jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi Rp450.000,00, dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang
diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi
Rp4.500.000,00 dan kurang dari Rp 10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang
diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp
10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan
setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh
Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
II.2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas,
Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan:
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang (UU) PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi
PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil
perhitungan tersebut dibagi 12.
III. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS ATAU DEWAN KOMISARIS
YANG TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA
PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK
TERATUR, DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI YANG
MENARIK DANA PENSIUN
III.1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan
Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu)
tahun kalender.
III.2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai
Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus
atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur
PPh
Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1
(satu) tahun kalender.
III.3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program
Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai yang Menarik Dana Pensiun
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari
kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun
kalender.
IV. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN
PEGAWAI
IV.1. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi
dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
IV.1.a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.
Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
IV.1.b.
Bagi yang tidak memiliki NPWP atau
memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam
tahun kalender yang bersangkutan.
IV.2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi
Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
IV.3.
Dalam hal bukan pegawai sebagaimana
dimaksud pada angka IV.1 dan angka IV.2 adalah dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah
sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik
IV.4. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud
pada angka IV.1 dan angka IV.2 memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26
IV.4.a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya,
maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah
dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut,
kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji
atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, maka besarnya penghasilan
bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
IV.4.b.
melakukan penyerahan material atau
barang, maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya
saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara
pemberian jasa dengan penyerahan material atau barang.
V. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI PESERTA KEGIATAN
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
VI. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI SUBJEK
PAJAK LUAR NEGERI
1. Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari
jumlah penghasilan bruto.
2. Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%
dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima penghasilan adalah subjek
pajak luar negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia.
BAGIAN KEDUA: CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
I. PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP
Posting Komentar untuk "PER - 16/PJ/2016"