Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Initial Public Offering (IPO) Vs Strategic Sales (SS)


Mata Kuliah: Privatisasi Perusahaan Publik
Judul: IPO Vs SS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
BUMN sebagai salah satu tulang punggung perekonomian (aset produktif yang dimiliki pemerintah) diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk dividen dan pajak. Pemerintah sangat berkepentingan atas kesehatan BUMN. Akan tetapi, kenyataannya banyak BUMN yang mengalami kerugian karena pengelolaannya yang tidak profesional, tidak berdasarkan prinsip ekonomi perusahaan, dan tidak transparan. Kinerja BUMN dalam perkembangannya terkesan dipandang negatif. Sering kali BUMN dituduh sebagai badan usaha yang tidak efisien dan memiliki profitabilitas yang rendah. Boleh dikatakan bahwa terciptanya kesan dan kondisi seperti itu dipengaruhi orientasi pendirian BUMN, yang semula diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat kemudian dibandingkan dengan perolehan laba (profitability). Agar dapat memainkan perannya secara optimal, BUMN tidak dapat lagi bergerak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan publik, karena adanya tuntutan lingkungan usaha di era globalisasi agar manajemen BUMN lebih kompetitif sehingga mampu menyediakan fasilitas publik dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang terjangkau masyarakat. Disamping itu, disadari pula bahwa hak monopoli yang selama ini diberikan kepada BUMN telah menyebabkan BUMN menjadi sulit beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat berlangsungnya mekanisme pasar yang begitu kompetitif. Untuk mengatasi masalah tersebut dan sekaligus untuk memperluas skala ekonomi maka pemerintah melakukan privatisasi pada sebagian besar BUMN yang berkinerja buruk. Pemerintah menilai privatisasi merupakan langkah strategis untuk mendongkrak kinerja BUMN. Privatisasi akan mengurangi beban keuangan pemerintah, meningkatkan efisiensi dan profesionalitas pengelolaan, mengurangi campur tangan birokrasi, dan mendukung pengembangan pasar modal. Namun, Pelaksanaan privatisasi BUMN yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia ternyata tidak dapat berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Salah satu tahap yang sering menimbulkan kontroversi adalah pemilihan metode privatisasi. Banyak pihak yang mencoba mempertentangkan antara metode privatisasi BUMN melalui Initial Public Offering (IPO) ataupun Strategic Sales (SS).
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah :
Apakah metode privatisasi BUMN melalui Initial Public Offering (IPO) lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan metode Strategic Sales (SS)?

BAB II
KERANGKA TEORI

A.    Sejarah Singkat BUMN  di Indonesia
Secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis aset yang dinasionalisasi. Alasan ini terjadi di tahun 1950-an ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Peristiwanya dimulai pada tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia karena PBB gagal mengeluarkan resolusi yang menghimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk masalah Irian Barat. Gerakan ini menjadi titik awal nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Kedua, membangun industri yang diperlukan masyarakat, namun masyarakat sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi yang sangat besar maupun risiko usaha yang sangat besar. Pada pertengahan tahun 1960-an pemerintah mulai mendirikan pabrik-pabrik pupuk urea, mulai di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Aceh. Pemerintah mengambil alih Indosat sebagai homebase pemilikan dan pengelolaan Satelit Palapa. Pemerintah juga mendirikan industri-industri kelistrikan sebagai bahan bakar energi nasional. Pemerintah juga mendirikan industri-industri kelistrikan sebagai bahan bakar energi nasional. Pemerintah mendirikan industri pesawat terbang, IPTN, dengan tujuan menjadi pelaku bisnis regional di bidang pesawat angkut jenis menengah dan kecil. Ketiga, membangun industri yang sangat strategis karena berkenaan dengan keamanan negara. Oleh karena itu pemerintah membangun industri persenjataan Pindad, bahan peledak, Dahana, pencetakan uang, Peruri, hingga pengelolaan stok pangan, Bulog. Dalam kaitan dengan pengelolaan BUMN, pada awal orde baru pemerintah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN, yang terdiri atas dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Hal ini ditujukan untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta agar terlibat dalam proses pembangunan. Upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara. Dalam peraturan ini BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya, yakni Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, dan Perusahaan Perseroan. Dalam perkembangan selanjutnya BUMN di Indonesia mengalami beberapa perubahan, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah.


B.    Pengertian Privatisasi
Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan aset publik melalui lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi dari jasa pemerintah, perjanjian lisensi, kontrak manajemen, perjanjian penyewaan usaha, peralatan atau aset, penjanjian usaha patungan (joint-venture), serta skema BOT (Build-Operate-Transfer). Sedangkan definisi privatisasi menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah penjualan saham Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat. Privatisasi BUMN pada dasarnya didorong oleh dua motivasi yaitu:
1.    Menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja sebagian BUMN; dan
2.    Membantu anggaran pemerintah dari tekanan defisit.
C.    Metode Privatisasi BUMN di Indonesia
Agar suatu Privatisasi dapat berjalan dengan baik dan tepat tujuan, tentu harus diatur ketentuan mengenai bentuk-bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh BUMN. Bentuk-bentuk Privatisasi tersebut sesungguhnya beraneka ragam, sehingga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan batasan bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh BUMN yang hendak melakukan Privatisasi. Dalam Pasal 78 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Privatisasi dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
1.    Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, hal ini berarti privatisasi dilakukan dengan penjualan saham melalui penawaran umum (Initial Public Offering atau go public), penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas. Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) bagi BUMN yang telah terdaftar di bursa;
2.    Penjualan saham langsung kepada investor, hal ini berarti suatu Privatisasi dilakukan dengan penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) atau kepada investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini khusus berlaku bagi penjualan saham BUMN yang belum terdaftar di bursa. Hal ini berarti saham milik suatu BUMN tersebut dijual kepada pihak tertentu yang hendak menjadi mitra usaha BUMN tersebut sehingga mitra usaha tersebut kemudian bertindak sebagai pemilik. Dengan kata lain, mitra usaha dapat juga bertindak sebagai pemegang saham mayoritas yang kemudian juga sebagai pengendali perusahaan;
3.    Penjualan saham kepada menajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan merupakan penjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan yang bersangkutan. Dengan kata lain, kepemilikan perusahaan beralih pada pihak yang terkait dengan perusahaan.
Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tatacara Privatisasi Perusahaan Perseroan (PERSERO) ada tiga metode privatisasi BUMN, yaitu penjualan melalui pasar modal atau penawaran umum (Initial Public Offering-IPO), penjualan langsung kepada investor (Strategic Sales SS atau Private Placement), dan penjualan kepada manajemen dan atau karyawan persero bersangkutan (Employee Management Buy Out-EMBO). EMBO digunakan jika tujuan yang hendak dicapai adalah peningkatan partisipasi dan sense of belonging karyawan dan manajemen. Tapi metode ini kurang berdampak pada peningkatan akuntabilitas, perbaikan kemampuan manajemen, serta perluasan kepemilikan oleh masyarakat. Strategic Sales menjadi pilihan jika tujuannya adalah kemudahan mendapatkan harga optimal dalam waktu singkat, akses cepat pada permodalan dan teknologi, dan perubahan postur manajemen. Namun kurang membawa pengaruh pada perkembangan pasar modal dan perluasan kepemilikan saham. Metode ini juga rentan transaksi di bawah meja oleh kelompok-kelompok kepentingan. Penawaran umum atau Public Offering dinilai memiliki paling banyak keunggulan. Di antaranya, kontribusi bagi perkembangan pasar modal, perluasan kepemilikan publik, dan peningkatan akuntabilitas perusahaan. Protokol pasar modal yang ketat, menyebabkan tingkat penerapan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan terbuka lebih baik dibanding perusahaan non-terbuka.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Privatisasi melalui metode Strategic Sales (SS)
Strategic Sales (SS) merupakan penjualan saham kepada mitra strategis dengan alasan-alasan tertentu. Umumnya, alasan yang digunakan pemerintah adalah harga yang ditawarkan investor biasanya lebih tinggi daripada harga pasar. Selain itu, adanya komitmen investor (dalam bentuk kontrak tertulis) untuk mengembangkan perusahaan, baik dari sisi alih teknologi, perluasan jaringan pemasaran, maupun pendanaan untuk investasi. Kelemahannya, metode SS dianggap kurang transparan dalam proses seleksi investor dan tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk membeli saham.  Salah satu BUMN yang dijual dengan cara strategic sales adalah PT Indosat (2002). Privatisasi Indosat telah menjadi semacam trauma kolektif masyarakat Indonesia. Penjualan saham negara kepada perusahaan Singapura itu dinilai merupakan wujud paling gamblang penjualan aset negara kepada asing. Awalnya pemerintah menjual 35 persen saham Indosat melalui Initial Public Offering (IPO), tahun 1994. Aksi ini tidak menyulut kontroversi. Pro kontra tajam terjadi menyusul keputusan pemerintah menjual kembali sahamnya sebesar 41,94 persen kepada Singapore Technology and Telemedia Ltd. (STT) dengan harga obral US$ 608,4 juta melalui Strategic Sales. Akibatnya mayoritas saham berpindah ke tangan asing dan saham merah putih hanya tersisa 15 persen. Merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, status Indosat bukan lagi BUMN karena mayoritas saham tidak di tangan pemerintah. Inilah yang memicu penolakan publik, parlemen, serta para pengamat dan akademisi. Sejak itu, istilah privatisasi menjadi common enemy dengan rangkaian bad name seperti obral aset negara, denasionalisasi, asingisasi, dan neo-imperialisme.  Potret buram Strategic Sales ini sesungguhnya bukan satu-satunya contoh yang terjadi di BUMN. Di luar kasus Indosat, masih ada contoh buruk lainnya sebagaimana yang terjadi di Semen Gresik (1998) dan divestasi saham-saham bank yang dahulu dikelola BPPN. Dalam kasus Semen Gresik misalnya, ketika Semen Gresik dijual (1998), saat itu adalah puncak-puncaknya krisis ekonomi Indonesia. Pemerintah waktu itu beralasan Semen Gresik harus dijual karena untuk meningkatkan kepercayaan investor dan untuk menutupi defisit APBN. Situasi ini sudah barang tentu menempatkan pemerintah dalam posisi “kalah” bila harus menjual Semen Gresik. Penjualan saham pemerintah sebesar 14% kepada Cemex dinilai banyak pihak sebagai penjualan yang tidak masuk akal, karena menghasilkan kontrak jual beli (conditional sale and purchase agreement/CSPA) yang merugikan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga tidak memperoleh harga yang adil alias terlalu murah. Lorenzo H. Zambrano, bos Cemex, mengakui bahwa, “pembelian saham Semen Gresik itu amat menguntungkan Cemex”. Kepada para pemegang saham, dia mengklaim keberhasilannya membeli saham Semen Gresik dengan harga murah (Cemex Annual Report 1998 : 5). Dalam CSPA disebutkan meski Cemex yang hanya memiliki 14% saham (lalu menjadi 25,53% setelah membeli saham publik di bursa), kekuasaannya setara dengan pemerintah yang mempunyai 51% saham. Cemex mendapat jatah wakil direktur utama dan wakil komisaris di jajaran manajemen, yang kekuasaannya sama dengan direktur utama dan komisaris utama.
Setiap pengambilan keputusan direktur utama dan komisaris utama (yang orang Indonesia) harus mendapat persetujuan dari wakilnya. Kasus divestasi sejumlah bank swasta yang diambil alih (take over) oleh pemerintah melalui BPPN juga sarat kontroversi. Penjualan saham BCA, Lippo, Danamon, BII, dan lainnya oleh pemerintah dinilai terlalu murah. Akibatnya, sama dengan yang terjadi pada Indosat dan juga Semen Gresik di tahun 2006, ketika pemilik baru menjual sahamnya pada bank-bank tersebut, mereka mendapatkan keuntungan berlipat. Buruknya kinerja privatisasi BUMN melalui Strategic Sales ini diperkirakan mempersulit langkah tersebut di masa mendatang. Masyarakat tampaknya akan semakin anti terhadap mekanisme privatisasi BUMN melalui metode Strategic Sales ini. Padahal, dalam beberapa kasus, Strategic Sales bila dilakukan dengan benar, sesungguhnya dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perusahaan dibandingkan dengan metode privatisasi lainnya. Namun sayang, dalam kasus BUMN, tampaknya langkah ini lebih banyak menghasilkan kerugian dibandingkan manfaatnya. Ketika menghadapi kenyataan pahit ini, opsi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN akan semakin sempit. Padahal, pemerintah memiliki target privatisasi BUMN yang lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Indikasi bahwa pelaksanaan privatisasi BUMN akan berat kini sudah terlihat.
B.    Privatisasi melalui metode Initial Public Offering (IPO)
Initial Public Offering (IPO) merupakan penjualan saham perusahaan melalui pasar modal. Penjualan saham BUMN melalui IPO dinilai memiliki beberapa kelebihan dibandingkan Strategic Sales. Melalui IPO, pemerintah memiliki peluang untuk mewujudkan demokrasi ekonomi melalui perluasan basis kepemilikan saham BUMN karena esensi kepemilikan BUMN adalah kepemilikan rakyat yang direpresentasikan melalui kepemilikan pemerintah. IPO juga dapat dimanfaatkan menjadi wahana pemerataan kesejahteraan. Sebab, semakin banyak masyarakat kita yang memiliki saham BUMN, akan semakin besar manfaat yang dapat diperoleh masyarakat, baik melalui dividen maupun capital gain. Selain itu, IPO juga dapat menjadi wahana yang baik untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG). Namun, IPO juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu apabila pasar modal tidak mampu menyerap jumlah saham yang ditawarkan, harga yang diperoleh rendah sehingga akan merugikan negara dan IPO belum tentu menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penyebabnya antara lain karena nilai tambah yang diperoleh melalui IPO tidak sebanding dengan effort yang harus dipenuhi BUMN serta efek transfer teknologi dan knowledge yang sangat minim bahkan bahkan hampir tidak ada. Sehingga, peningkatan kinerja BUMN juga menjadi minimal. Hingga akhir 2010 sudah 17 BUMN diprivatisasi dengan metode ini antara lain: PT Telkom (1995), PT Timah (1995), PT Aneka Tambang (1997), PT Bank Mandiri (2003) dan PT PGN (2003) dimana langkah pemerintah ini relatif tidak menimbulkan gejolak. Pro dan kontra terhadap privatisasi melalui metode IPO timbul ketika pemerintah berencana melakukan privatisasi terhadap PT Krakatau Steel (KS) pada tahun 2010. Polemik seputar IPO PT Krakatau Steel di penghujung 2010, mengindikasikan bahwa pada metode IPO pun terkandung sejumlah titik krusial. Yaitu pada proses pembentukan harga atau bookbuilding, penjatahan saham, dan proporsi kepemilikan investor asing dan lokal. Proses bookbuilding dinilai rawan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Dalam kasus IPO PT KS, harga perdana Rp850 dinilai terlalu rendah. Kecurigaan adanya hanky-panky dalam proses ini memicu kekisruhan, dan mendorong sejumlah pakar, pengamat, dan praktisi melakukan citizen lawsuit di pengadilan. Pada proses penjatahan saham, terbuka peluang intervensi pihak-pihak tertentu. Kecurigaan adanya penjatahan secara tidak fair pada IPO KS, mendorong banyak pihak menuntut Bapepam-LK membuka secara transparan siapa saja pembeli saham pada penjualan perdana. IPO juga rawan dimanfaatkan oleh investor asing untuk menguasai saham BUMN. Idealnya, IPO bisa membuka kesempatan luas kepada masyarakat dalam negeri untuk memiliki saham BUMN. Namun dalam praktiknya investor asing bisa memiliki saham dalam jumlah signifikan, baik melalui pembelian di pasar perdana atau sekunder. Investor asing diyakini sebagai investor berkualitas karena tidak mengejar keuntungan instan jangka pendek. Inilah logika di balik gencarnya roadshow ke manca negara menjelang IPO sejumlah BUMN.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1)    Privatisasi melalui metode Initial Public Offering (IPO) lebih dapat diterima oleh publik dan parlemen di Indonesia.  Kondisi ini tidak lepas dari trauma masyarakat atas berbagai kegagalan Strategic Sales di masa lampau, seperti yang terjadi pada Semen Gresik (1998),  Indosat (2002), dan sejumlah kasus divestasi perusahaan yang dulu dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
2)    Penjualan saham BUMN melalui metode IPO memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode Strategic Sales, yaitu perluasan basis kepemilikan saham BUMN, wahana pemerataan kesejahteraan dan meningkatkan Good Corporate Governance (GCG).
B.    Saran
1)    Agar privatisasi BUMN dapat memberikan manfaat yang besar hendaknya diperhatikan dua syarat sebagai berikut :
-    Privatisasi BUMN harus dilakukan pada momentum yang tepat. Artinya, jangan memprivatisasikan BUMN dalam kondisi pasar yang tidak kondusif. Sebab, bila privatisasi dilakukan pada saat ekonomi dan pasar yang sedang jatuh (bearish), hasil privatisasi (penjualan saham) yang diperoleh akan tidak sebanding dengan nilai perusahaan, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (intangible).
-    Tidak menjual BUMN dalam situasi kondisi internal perusahaan yang tidak sehat. Tentunya, syarat ini hanya berlaku bagi BUMN yang masih memiliki prospek untuk dipertahankan. Bila BUMN yang bersangkutan memang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan (layak dilikuidasi), memang harus diambil keputusan cut off, yaitu menjualnya sekalipun dalam kondisi rugi untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi di masa mendatang. Namun, bagi BUMN yang masih memiliki prospek untuk disehatkan, langkah yang tepat sebelum diprivatisasikan adalah merestrukturisasi terlebih dahulu sampai diperoleh hasil yang baik, agar hasil privatisasi nantinya dapat maksimal.
2)    Agar IPO bisa membuahkan hasil yang maksimal ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dalam proses bookbuilding, sterilisasi dari intervensi non-korporasi terutama pada proses bookbuilding, dan penjatahan saham serta kepedulian dan program yang jelas dari pemerintah untuk memperluas basis investor dalam negeri.

Posting Komentar untuk "Initial Public Offering (IPO) Vs Strategic Sales (SS)"