Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Putusan MA Vs MK terkait Barang Kena Pajak Bersifat Strategis


Putusan MA Vs MK terkait Barang Kena Pajak Bersifat Strategis

Pasal 16B ayat (1) UU PPN memberikan 2 (dua) jenis fasilitas kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yaitu berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan. Jenis Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan. Sedangkan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Salah satu pemberian fasilitas terhadap Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai berupa Pembebasan PPN atas penyerahan barang strategis memang mengakibatkan pajak masukan atas perolehan barang tersebut tidak dapat dikreditkan dan hanya dapat dibiayakan dalam penghitungan PPh terutang. Pembebasan PPN atas penyerahan suatu Barang Kena Pajak (BKP) dan larangan mengkreditkan pajak masukan merupakan sebuah perlakuan khusus atau pengecualian dari ketentuan umum UU PPN. Namun, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007.”

Selama ini barang hasil pertanian (kecuali untuk barang yang dinyatakan bukan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN) adalah merupakan Barang Kena Pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, maka Pemerintah memberikan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang salah satunya adalah barang hasil pertanian, namun berdasarkan hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 terkait barang hasil pertanian seperti kelapa sawit yang sebelumnya dibebaskan menjadi kena PPN. Dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini, otomatis atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak hasil pertanian ini terutang PPN dan wajib untuk dipungut PPN terutangnya. 
Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016 menyatakan penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak” yang termuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN. dengan adanya Putusan MK No 39/PUU-XIV/2016 maka akan berdampak pada berkurangnya penerimaan negara yaitu penerimaan dari sektor pajak. Sehingga, putusan ini akan sangat berdampak pada penerimaan negara. Namun, pengertian Pasal 4A ayat (2) huruf b menyatakan “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak” namun dalam penjelasannya dipersempit menjadi 11 (sebelas) jenis komoditi pangan, padahal konsumsi bahan pangan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, tidak hanya semata-mata 11 (sebelas) jenis bahan pangan sebagaimana disebutkan dalam UU PPN. Maka, dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 terdapat perluasan pengertian barang kebutuhan pokok yang atas impor dan/atau penyerahannya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai dan untuk  lebih memberikan kepastian hukum mengenai jenis-jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai dan menyelaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016.

Adapun perbandingan antara putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus (Pasal 28 ayat (1) UU MA). MA mengubah BKP yang sebelumnya dibebaskan menjadi dikenakan PPN yang berarti menambah penerimaan negara sedangkan Mahkamah Konstitusi mengubah BKP yang sebelumnya dikenakan menjadi dibebaskan PPN yang berdampak mengurangi penerimaan negara. Berdasarkan putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.  (Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK). Menurut penulis, putusan dari MK dan MA telah tepat dan tentunya segala peraturan dan ketetapan yang berlaku perlu diperbaiki dengan melakukan pengujian dan pemeriksaan agar tidak ada kerancuan lagi.

Posting Komentar untuk "Putusan MA Vs MK terkait Barang Kena Pajak Bersifat Strategis"